Jakarta kini tentu telah berbeda dengan Jakarta sebelumnya. Tahun 1960 – an, Jakarta merupakan kota yang “ramah.” Ya, ramah bagi lingkungan sekitarnya, dan ramah bagi penduduk sekitarnya. Namun, itu 52 tahun yang lalu. Kini kota Jakarta dapat dikatakan bak “neraka” di Bumi Indonesia. Bukan hanya karena kemacetannya, Jakarta juga dapat dikatakan sebagai “neraka”, karena Jakarta masuk dalam urutan 3 kota paling berpolusi di dunia. Dan, sepertinya kota Denpasar sedang berjalan kearah yang sama. Tinggal mengunggu waktu, Denpasar pun akan mengalami masalah yang tidak jauh berbeda dengan kota Jakarta. Pertanyaannya, bisakah hal tersebut dicegah (atau setidaknya dikurangi dampaknya)?
Salah satu penyumbang polusi terbesar di kota – kota besar adalah penggunaan teknologi. Walaupun polusi yang dihasilkan tidak sebanyak polusi kendaraan dunia (40% dari polusi dunia disebabkan oleh kendaraan), tapi teknologi tetap berkomitmen untuk membuat kota – kota besar menjadi “neraka”. Belum lagi kita yang terkadang egois dalam memanfaatkan teknologi. Contoh sederhananya ponsel. Anak muda sekarang umumnya suka gonta – ganti ponsel, setiap ada yang terbaru, mereka akan mengganti ponsel mereka. Terus, ponsel lama mereka dibawa kemana? Jika ponsel lama mereka telah rusak, hanya ada satu kata yang tepat : DIBUANG! Sampah elektronik (e-waste, electronic waste) inilah yang dapat membuat kota tidak hijau lagi, karena didalamnya banyak terdapat limbah – limbah beracun, semisal Timbal.
Walaupun saat ini banyak produsen alat teknologi yang menyatakan bahwa produknya ramah lingkungan, tapi dalam kenyataannya tidak. Contohnya saja, sebuah vendor computer pernah mengeluarkan computer desktop PC yang hanya menggunakan listrik sebesar 60W. Dapatkah desktop PC tersebut dikatakan ramah lingkungan? TIDAK SELALU! Mengapa? Karena dalam poses produksinya perusahaan tersebut masih mengasilkan limbah berbahaya bagi lingkungan sekitarnya. Belum lagi penggunaan listrik – yang pembangkitnya masih banyak menggunakan tenaga batubara dan tentunya menghasilkan polusi.
Setidaknya, dalam penggunaan teknologi kita sebaiknya tidak terlalu egois. Berpikirlah ke depan, karena alat teknologi tersebut dapat menghasilkan polusi saat menjadi sampah nantinya. Jika anda mampu, sebaiknya belilah alat teknologi yang sedikit mahal, namun dalam proses produksi dan penggunaannya menghasilkan sedikit polusi. Mungkin referensi dibawah ini bisa menjadi pilihan.
Berikut ini urutan perusahaan teknologi informasi hijau dunia versi Greenpeace (November 2011) :
- HP (Skor : 5.9 dari 10)
- Dell (Skor : 5.1 dari 10)
- Nokia (Skor : 4.9 dari 10)
- Apple (Skor : 4.6 dari 10)
- Philips (Skor : 4.5 dari 10)
- Sony Ericsson (Skor : 4.2 dari 10)
- Samsung (Skor : 4.2 dari 10)
- Lenovo (Skor : 4.1 dari 10)
- Panasonic (Skor : 3.8 dari 10)
- Sony (Skor : 3.6 dari 10)
- Sharp (Skor : 3 dari 10)
- Acer (Skor : 2.9 dari 10)
- LG Electronics (Skor : 2.8 dari 10)
- Toshiba (Skor : 2.8 dari 10)
- RIM (Research In Motion) (Skor : 1.6 dari 10)
Dari daftar tersebut tidak terlihat produsen produk lokal asal Indonesia. Mungkin produsen lokal tersebut dapat berbenah diri untuk memperbaiki system produksi mereka agar lebih green
Jika semua produsen alat elektronik menerapkan prinsip green electronics ini, maka Bumi kita akan semakin hijau, dan semakin nyaman untuk ditinggali. Jika TIK dimanfaatkan secara tepat, maka teknologi akan membuat Bumi makin hijau. Namun, jika tidak, maka teknologi akan membentuk kota – kota “neraka” baru pada Bumi ini.
Sumber referensi : Guide to Greener Electronics | Greenpeace International
test
BalasHapus